Filsafat Sains berupaya memahami bagaimana pengetahuan ilmiah diciptakan, divalidasi, dan diterapkan. Ini melibatkan pemeriksaan kritis terhadap metode, prinsip, dan konsep yang mendasari penyelidikan ilmiah.
Sains bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan alam melalui bukti empiris dan penalaran logis. Filsafat ilmu menggali landasan teoretis praktik ilmiah, mempertanyakan hakikat penalaran ilmiah, struktur teori ilmiah, serta keandalan dan objektivitas pengetahuan ilmiah.
Teori ilmiah adalah penjelasan sistematis atas fenomena yang didukung oleh bukti. Mereka berfungsi untuk memprediksi hasil dan memahami prinsip-prinsip yang mendasarinya. Teori bukan sekedar spekulasi tetapi didasarkan pada data empiris dan koherensi logis.
Penalaran ilmiah seringkali menggunakan dua metode utama: induksi dan deduksi.
Induksi melibatkan penarikan kesimpulan umum dari pengamatan khusus. Misalnya, mengamati bahwa semua angsa yang kita lihat berwarna putih mungkin membawa kita pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih.
Deduksi , di sisi lain, dimulai dengan pernyataan umum atau hipotesis dan mengkaji konsekuensinya. Jika semua angsa berwarna putih (premis), dan seekor burung adalah angsa (premis), maka burung tersebut harus berwarna putih (kesimpulan).
Metode induktif, meskipun berguna, menghadapi tantangan. Masalah induksi menyoroti bahwa tidak ada data empiris yang dapat membuktikan pernyataan umum secara meyakinkan. Pengamatan baru mungkin selalu bertentangan dengan generalisasi kita. Masalah ini menggambarkan ketidakpastian yang melekat dalam pengetahuan ilmiah, yang menunjukkan bahwa teori-teori ilmiah bersifat sementara dan terbuka untuk direvisi.
Karl Popper memperkenalkan konsep falsifiabilitas, dengan alasan bahwa agar sebuah teori menjadi ilmiah, teori tersebut harus mampu dibuktikan salahnya. Kriteria ini membedakan teori-teori ilmiah dari teori-teori non-ilmiah. Sebuah teori yang membuat prediksi yang dapat diuji dan berpotensi dibantah dianggap lebih kuat dan ilmiah.
Konsep revolusi ilmiah Thomas Kuhn mengusulkan bahwa sains tidak berkembang melalui akumulasi pengetahuan yang linier. Sebaliknya, periode 'ilmu pengetahuan normal' disela oleh 'ilmu pengetahuan revolusioner', di mana teori-teori dasar digulingkan dan digantikan oleh paradigma baru. Contohnya adalah peralihan dari model geosentris Ptolemeus ke model heliosentris tata surya Copernicus.
Meskipun bertujuan untuk obyektivitas dan netralitas, ilmu pengetahuan dijalankan oleh manusia, yang tentunya rentan terhadap bias. Asumsi teoritis para ilmuwan, pilihan metodologis, dan bahkan keyakinan pribadi dapat mempengaruhi proses ilmiah. Mengenali dan memitigasi bias-bias ini sangat penting untuk integritas penyelidikan ilmiah.
Eksperimen merupakan hal mendasar dalam penyelidikan ilmiah, memungkinkan peneliti menguji hipotesis dan mengamati hasil dalam kondisi terkendali. Desain dan interpretasi eksperimen memerlukan pertimbangan yang cermat untuk memastikan keandalan dan validitas. Repliabilitas eksperimen adalah aspek kunci dari ketelitian ilmiah, yang memungkinkan temuan diverifikasi oleh peneliti independen.
Sains tidak ada dalam ruang hampa; hal ini mempunyai dampak yang besar bagi masyarakat. Pertimbangan etis merupakan bagian integral dari penelitian ilmiah, yang memandu keputusan mengenai apa yang dipelajari, bagaimana penelitian dilakukan, dan bagaimana temuan diterapkan. Isu-isu seperti kelestarian lingkungan, hak asasi manusia, dan kesehatan masyarakat sangat terkait dengan praktik ilmiah.
Filsafat sains menawarkan kerangka komprehensif untuk memahami kompleksitas penyelidikan ilmiah. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting tentang hakikat pengetahuan, keandalan metode ilmiah, dan implikasi etis dari penemuan ilmiah. Dengan menelaah secara kritis aspek-aspek tersebut, filsafat ilmu berkontribusi pada pengembangan praktik ilmiah yang lebih reflektif, bertanggung jawab, dan efektif.